Abstrak: Artikel ini mencoba untuk
menjelaskan tentang sejarah Pasar Songgolangit yang berada di Kabupaten
Ponorogo.Yang akan dijelaskan telebih dahulu mengenai letak geografis Kabupaten
Ponorogo dan keadaan sosial ekonomi masyarakat Ponorogo. Disini juga akan
dijelaskan pengertian umum pasar, sejarah pasar dan jenis-jenis pasar. Pasar
Songgolangit merupakan pasar terbesar
yang dimiliki oleh Kabupaten Ponorogo. Songgolangit sendiri juga diambil dari
nama seorang putri yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Ponorogo.
Kata Kunci:
Pasar, Kabupaten Ponorogo, Pasar Songgolangit
PENDAHULUAN
Upaya
manusia untuk memenuhi kebutuhannya sudah berlangsung sejak manusia itu ada.
Salah satu kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut adalah
memerlukan adanya pasar sebagai sarana pendukungnya. Pasar merupakan kegiatan
ekonomi yang termasuk salah satu perwujudan adaptasi manusia terhadap
lingkungannya. Hal ini didasari atau didorong oleh faktor perkembangan ekonomi
yang pada awalnya hanya bersumber pada problem untuk memenuhi kebutuhan hidup
(kebutuhan pokok).
Pengertian pasar atau
definisi pasar adalah tempat bertemunya calon penjual
dan calon pembeli barang dan jasa. Di pasar antara penjual dan pembeli akan melakukan
transaksi. Dalam arti sempit, pasar
adalah tempat dilakukannya kegiatan jual beli berbagai macam barang dan jasa
untuk keperluan hidup sehari-hari. Dalam pengertian yang lebih luas, pasar adalah
proses berlangsungnya transaksi permintaan dan penawaran atas barang dan jasa.
Dalam ilmu ekonomi,
pengertian pasar tidak harus dikaitkan dengan suatu tempat yang dinamakan pasar
dalam pengertian sehari-hari. Suatu pasar dalam ilmu ekonomi adalah dimana saja
terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Barang yang ditransaksikan bisa
barang apapun, mulai dari beras dan sayur mayur, sampai ke jasa angkutan, uang,
dan tenaga kerja. Setiap barang ekonomi mempunyai pasarnya sendiri-sendiri.
Pasar beras, pasar sayur, pasar sepatu, pasar jasa angkutan termasuk kategori
pasar output. Sedangkan pasar modal, pasar tenaga kerja, pasar tanah termasuk
pasar input.
Di masing-masing
pasar terjadi transaksi pasar untuk barang yang bersangkutan. Dan apabila
terjadi suatu transaksi, maka ini berarti telah terjadi suatu persetujuan
(antara pembeli dan penjual) mengenai harga transaksi dan volume transaksi bagi
barang tersebut. Dua aspek transaksi inilah (yaitu harga dan volume) yang
menjadi pusat perhatian ahli ekonomi apabila ia menganalisa suatu pasar.
Pokok penulisan artikel adalah Sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo.
Pada artikel ini, penulis menganalisis terbentuknya Pasar Songgolangit Ponorogo yang dulunya
bernama Pasar Legi, penulis juga memaparkan bagaimana keadaan Kota Ponorogo
dengan menggunakan sumber Buku Selintas Perkembangan Muhammadiyah Ponorogo.
Lalu juga menyertakan gambar-gambar yang relevan sesuai dengan apa yang
dibahas.
Berkaitan dengan paparan diatas maka rumusan masalah dalam artikel
ini antara lain: (1.) bagaimana asal mula terbentuknya pasar?, (2.) Apa saja
jenis-jenis pasar?, (3.) bagaimana keadaan sosial-ekonomi masyarakat Ponorogo?,
(4.) Bagaimana sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo?. Tujuan dari penulisan
artikel ini adalah: (1.) menjelaskan asal mula terbentuknya pasar, (2.)
menjelaskan jenis-jenis pasar, (3.) memaparkan keadaan sosial-ekonomi
masyarakat Ponorogo, (4.) mendeskripsikan sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo.
METODE PENELITIAN
Penulisan artikel ini menggunakan studi kesejarahan
dan wawancara untuk memperoleh pengetahun khusus tentang pola dan struktur
perekonomian di Kabupaten Ponorogo dan sejarah Pasar Songgolangit dengan cara
analisis terhadap sumber-sumber yang diperoleh.
Langkah yang ditempuh penulis dalam
menyusun artikel ini antara lain:
1.
Pemilihan Topik
Pemilihan
topik Sejarah Pasar
Songgolangit Ponorogo diambil oleh penulis karena pasar ini merupakan pasar tradisional terbesar di Ponorogo dan
menjadi pasar kebanggaan masyarakat Ponorogo.
2.
Pengumpulan Data
Terkait
dengan hal ini, penulis melakukan beberapa cara seperti: mengunjungi
tempat-tempat yang berhubungan dengan topik pembahasan, wawancara dengan salah
sorang pegawai Pasar
Songgolangit, serta mencari data dari internet.
3.
Kritik Sumber
Penulis
menghubungkan informasi yang diperoleh dari sumber yang di dapat dari hasil
wawancara serta sumber lainnya. Kritik dilakukan dalam mengolah sumber yang
berbentuk artikel dari internet.
HASIL
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya
penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli
secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan
dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Masyarakat Ponorogo sejak tahun 1920-an sudah
memiliki berbagai lapangan kerja. Ketrampilan ini diperoleh secara turun
temurun. Ada yang bertani ladang, ada pula yang mengolah sawah. Perikanan dan
peternakan pun sudah dilakukan oleh masyarakat ponorogo walaupun sekedar hobi.
Adapun masyarakat perkotaan, lapangan pekerjaan lebih mengarah ke pedagang,
pengusaha batik, dan penjual candu,
PEMBAHASAN
SEJARAH PASAR SONGGOLANGIT PONOROGO
Sudah
sejak zaman dahulu kota tidak akan pernah terlepas dari pusat kegiatan komersil
yang disebut dengan pasar. Sejarah pasar di awali pada zaman pra sejarah,
dimana didalam memenuhi kebutuhan manusia melakukan sistem barter, yaitu suatu
sistem yang diterapkan antara dua individu dengan cara menukar barang yang satu
dengan barang yang lainnya dan akhirnya sistem barter ini berkembang secara
luas.
Dalam
terminologi ilmu ekonomi, sebenarnya tidak terdapat istilah pasar tradisional.
Istilah tersebut muncul ketika terdapat fenomena di berbagai negara (terutama
di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia), dimana adanya dua tipe
pasar yang secara operasional berbeda tetapi berjalan secara bersamaan, yang
kemudian diistilahkan dengan pasar tradisional dan pasar modern.
Sedangkan
sejarah terbentuknya pasar itu sendiri berawal dari kebiasan masyarakat jaman
dahulu yang menggunakan sistem barter atas barang yang dibutuhkannya namun
tidak diproduksi sendiri. Untuk melakukan barter, dipilih sebuah tempat yang
disepakati bersama. Lama-kelamaan tempat tersebut berubah menjadi pasar.
Kegiatan yang dilakukan disana pun tidak hanya sekedar barter namun sudah
berupa kegiatan jual beli dengan menggunakan alat pembayaran berupa uang.
Timbulnya
pasar tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan produksi
setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat pengaliran untuk dijual.
Selain itu pemenuhan kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang
praktis untuk mendapatkan barang-barang baik dengan menukar atau membeli.
Adanya kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat berdagang
yang disebut pasar.
Pasar
tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai
dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung, bangunan biasanya
terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh
penjual maupun suatu pengelola pasar. Pasar modern dari sisi barang yang
diperdagangkan, tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun dalam pasar
modern penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli
melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam
bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani
oleh pramuniaga. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan, hypermarket,
supermarket, dan minimarket.
Pasar
tradisional dalam awal-awal keberadaannya memiliki peranan yang penting dalam
perkembangan wilayah dan terbentuknya kota. Sebagai pusat aktivitas ekonomi
masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya pemukiman-pemukiman dan
aktivitas sosial-ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, dan pada tahap
selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan. Jasa besar pasar tradisional
(tentunya dengan pelaku-pelaku di dalam pasar tersebut), hampir tidak
terbantahkan terutama jika kita lihat sejarah berdirinya hampir seluruh kota di
Indonesia.
Pada
umumnya pasar tradisional merupakan tempat penjualan bahan – bahan kebutuhan
pokok (sembako). Biasanya pasar tradisional beraktifitas dalam batas – batas
waktu tertentu, seperti pasar pagi, pasar sore, pasar pekan dan lain
sebagainya. Pasar tradisional biasanya dikelola oleh pemerintah maupun swasta, fasilitas yang
tersedia biasanya merupakan bangsal –
bangsal, loods – loods, gudang, toko – toko, stand – stand/kios – kios,
toilet umum pada sekitar pasar tradisional. Pada pasar
tradisional proses jual beli terjadi secara manusiawi dan komunikasi
dengan nilai – nilai kekeluargaan yang tinggi.
Pasar pada
prinsipnya adalah tempat dimana para penjual dan pembeli bertemu. Tetapi
apabila pasar telah terselenggara dalam arti para pembeli dan penjual sudah
bertemu serta barang-barang kebutuhan sudah disebarluaskan, maka pasar
memperlihatkan peranannya bukan hanya sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi
juga sebagai pusat kebudayaan.
Adapun komponen-komponen pasar antara lain
adalah lokasi, bentuk fisik, komoditi, produksi, distribusi, transportasi,
transaksi serta rotasi. Komponen-komponen pasar tersebut mempunyai keterkaitan
fungsi masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, umpamanya
faktor produksi sangat tergantung pada faktor distribusi dan untuk lancarnya
suatu distribusi sangat diperlukan sarana transportasi yang baik, sehingga
hasil produksi dapat mencapai pasar. Jalur transportasi tidak dapat dilepaskan
dari lokasi pasar karena suatu pasar dianggap baik jika lokasinya mudah dicapai.
Lokasi yang mudah dijangkau sangat mempengaruhi banyaknya orang yang datang
kepasar yang dapat mengakibatkan naiknya jumlah transaksi. Meningkatnya
transaksi dapat menyebabkan jumlah produksi naik. Satu hal yang penting
kaitannya dengan sistem pasar ialah rotasi pasar yang merupakan kerjasama antar
beberapa desa yang tentunya melibatkan warga masyarakat dari desa-desa
bersangkutan.
Fungsi pasar sebagai pusat perekonomian kota
sangat penting, karena kota merupakan tempat himpunan masyarakat dari berbagai tempat
yang kehidupannya lebih dititik beratkan pada perdagangan. Di dalam kota, ada
lebih dari satu pasar dan letaknya tidak selalu dekat dengan alun-alun tetapi
ada juga yang dibuat dekat perkampungan para pedagang. Di dalam kota-kota,
selain terdapat tempat peribadatan, pasar dan bangunan untuk penguasa yaitu
keraton, terdapat pula perkampunga-perkampungan. Perkampungan itu ada yang
didasarkan kepada status social-ekonomi, status keagamaan, dan status kekuasaan
dalam pemerintah.
Kabupaten Ponorogo, merupakan salah satu kabupaten yang berada di
sisi tenggara Jawa Timur. Luas daerah Ponorogo mencapai 137 115 Ha. Batas-batas
wilayah Kabupaten Ponorogo di sebelah utara yakni Kabupaten Madiun dan
Kabupaten Magetan, di sebelah timur yakni Kabupaten Trenggalek, di sebelah
selatan yakni Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Pacitan, dan di sebelah barat
yakni Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri.
Sesuai
letak geografinya, masyarakat Ponorogo sejak tahun 1920-an sudah memiliki
berbagai lapangan kerja. Ketrampilan ini diperoleh secara turun temurun. Ada
yang bertani ladang, ada pula yang mengolah sawah dengan sistem penggarapan
yang masih sangat sederhana. Hasil yang diperoleh belum mencukupi kebutuhan,
dikarenakan perkebunan digarap dalam jumlah dan jenis yang terbatas yang hanya
untuk memenuhi kebutuhan Belanda, misalnya kapas dan tebu. Peternakan pun sudah
dilaksanakan, namun dalam bentuk yang sederhana pula. Perikanan sudah dilakukan
pula, walaupun hanya didukung oleh hobi. Begitu juga tentang kerajinan, para
pengrajin mampu memenuhi kebutuhan pribadi, masyarakat,dan pemerintah.
Penggalian batu kali, pasir, dan gamping juga jenis mata pencaharian yang telah
lama diusahakan masyarakat Ponorogo untuk menopang ekonomi keluarga. Tukang
delman dan pedati bagi masyarakat Ponorogo menduduki nilai ekonomi tersendiri
sebagai penjual jasa di bidang transportasi. Masyarakat perkotaan waktu itu
memiliki kegiatan ekonomi yang lebih maju, misalnya pedagang, pengusaha batik,
penjual candu, dan sebagainya.
Kabupaten
Ponorogo memiliki fasilitas perdagangan yang cukup lengkap, fasilitas tersebut
berupa pasar dan pertokoan yang tersebar di seluruh wilayah. Pasar-pasar besar
Kabupaten Ponorogo antara lain Pasar Legi atau yang sekarang disebut Pasar
Songgolangit di Kecamatan Ponorogo, Pasar Wage di Kecamatan Jetis, Pasar Pon di
Kecamatan Jenangan dan pasar-pasar lain yang umumnya buka menurut hari dalam
penanggalan Jawa. Di kabupaten ini juga terdapat pasar hewan terbesar di
Karesidenan Madiun, yaitu Pasar Hewan Jetis yang buka setiap hari Pahing.
Selain
menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting
dalam rangka menunjang kegiatan sistem koleksi–distribusi terhadap
barang-barang kebutuhan penduduk dan beberapa komoditi pertanian yang dihasilkan
oleh Kabupaten Ponorogo. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan
banyak berkembang di kabupaten ini terutama toko-toko swalayan.
Dalam
hal ini, salah satu pasar tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat
Ponorogo yakni Pasar Songgolangit. Terletak di Jalan Soekarno-Hatta Ponorogo.
Di sebelah timur pasar, tepatnya di Jalan Hayam Wuruk terdapat sebuah mushola
yang bernama Mushola Nyai Ahmad Dahlan yang menjadi cikal bakal lahirnya
Muhammadiyah di Kabupaten Ponorogo.
Pasar
(tradisional) yang selama ini sudah menyatu dan memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Bagi
masyarakat, pasar bukan hanya sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, tetapi juga
sebagai wadah interaksi sosial dan representasi nilai-nilai tradisional yang ditunjukan oleh
perilaku para aktor-aktor di dalamnya.
Para
pelaku pasar tradisional umumnya mengabaikan notion waktu adalah uang. Para
penjual
dalam menawarkan dagangannya lebih mendahulukan pendekatan personal dan memperlihatkan ketidaktergesaan. Fenomena
ini membalikan salah satu ciri ekonomi neoliberaldi mana kecepatan dan
percepatan merupakan syarat utama untuk memenangi apapun.
Suasana
pasar terjalin bukan sekedar hubungan formal jual beli antara penjual dan
pembelisaja, namun lebih dari itu, yakni mereka saling bertegur sapa dan
bercengkrama dengan bahasamereka yakni bahasa daerah. Mereka merasa terlepas
dari ketegangan dan himpitan bebanhidup yang semakin berat. Sehingga bagi
masyarakat berbelanja ke pasar yang ramai dan tidakterlalu bersih itu menjadi
seperti kebutuhan hidup.Malah tidak sedikit di pasar tradisional itu pedagang
yang biasa jualannya dengan caradiutangkan. Atau penjualnya terjerat utang oleh
rentenir yang berkeliaran mencari mangsa dipasar itu. Mereka selalu dan sangat
tergantung dalam hal penyediaan modal kepada “bankkeliling”, yang konon bunga
banknya lebih dari 20%. Cara berdagang seperti itu menjadi absurddalam sistem
ekonomi modern. Tetapi bagi sebagian orang berjualan seperti itu di pasar
bukansemata-mata mencari keuntungan. Meskipun sektor kerja mereka berada di
wilayah ekonomi subsisten. Mereka lebih mengangkat kekerabatan dan kebersamaan
sebagai hal yang utama. Di pasar,mereka merasa senang karena bisa bertemu dan
berkomunikasi dengan langganan dan teman-temannya.Bahkan tidak sedikit di
antara sesama pedagang saling berutang dan salingmencukupi kebutuhan.Itulah
kegiatan pasar tradisional yang memperlihatkan kebertautan antara kebudayaan
danekonomi. Pasar itu bukan tempat suci, tetapi solidaritas dan kepercayaan
terbangun di sini.
Awalnya,
Pasar Songgolangit bernama Pasar Legi. Pasar Legi berdiri sekitar tahun 1827,
hampir bersamaan dengan berdirinya Pasar Pon, Pasar Alon-alon, dan Pasar
Gampingan. Letak Pasar Legi dipisahkan oleh Jalan Urip Sumoharjo, sehingga juga
terdapat pemisahan jenis barang dagangan. Pasar bagian utara jenis barang
dagangan berupa sembako dan kebutuhan sehari-hari, pada bagian selatan jenis
dagangan berupa kain-kain.
Biasanya
pasar menggunakan penerapan konsep pancawara terhadap sistem pemukiman. Pancawarna
mengatur rotasi hari-hari pasar pada wilayah-wilayah tertentu. Pancawarna adalah nama dari sebuah pekan atau minggu yang terdiri dari lima hari, dalam budaya Jawa dan Bali. Pancawarna juga disebut sebagai hari pasaran dalam bahasa Jawa. dalam sistem penanggalan Jawa dan Bali terdapat 2 macam siklus waktu yaitu mingguan dan pasaran. Masing-masing hari-hari pasar itu mempunyai watak yang berbeda. Watak hari-hari
pasar ini dapat dihitung menggunakan Kalender Jawa (Petungan Jawi), yaitu
perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari,
tanggal, bulan dan tahun. Petungan Jawi dengan kelengkapannya itu dapat
dipercaya sebagai pelukisan watak bawaan atau pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia dan kesesuaiannya dengan alam. Adapun watak atau karakter dari
masing-masing hari-hari pasar adalah sebagai berikut: (1) Pahing, wataknya
melikan artinya suka pada barang yang kelihatan, mempunyai rupa merah dan
bertempat di sebelah selatan; (2) Pon, wataknya pamer artinya suka memamerkan
harta miliknya, mempunyai rupa kuning dan bertempat di sebelah barat; (3) Wage,
wataknya kedher artinya kaku hati/ teguh bicara, mempunyai rupa hitam dan
bertempat di sebelah utara; (4) Kliwon, wataknya micara artinya dapat mengubah
bahasa, bertempat di tengah-tengah/induk dan mempunyai rupa manca warna; (5)
Manis/Legi, wataknya komat artinya sanggup menerima segala macam keadaan,
mempunyai rupa putih dan bertempat disebelah timur.
Jadi,
menurut watak atau karakter dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pasar Legi mempunyai watak yang komat yang artinya sanggup menerima segala
macam keadaan, mempunyai rupa putih dan bertempat disebelah timur. Letak Pasar
Legi sendiri juga sesuai dengan watak, karena Pasar Legi terletak di sebelah
timur alon-alon Ponorogo.
Pada
tahun 1995, Pasar Legi mengalami kebakaran hebat yang mengalami kerugian
miliaran rupiah. Hal ini dirasakan oleh masyarakat sekitar pasar yang berlokasi
strategis, "terbakar" atauada indikasi sengaja dibakar. Hal ini tentu
saja dengan melihat kenyataan bahwa tidak lamasetelah dibakar, di tempat
tersebut biasanya berdiri pusat perbelanjaan megah. Renovasi selamaini dengan
mengatasnamakan kepentingan pedagang, tak jarang melalui penunjukanpengembang
tanpa tender. Namun kenyataannya sering kali "menghianati" pedagang
lama yangsebelumnya ada. Malah belakangan ini muncul modus-modus baru menggusur
pasar tradisionalmelalui kekerasan dengan mengerahkan aparat.
Pada
tahun 1997, Pasar Legi kembali berdiri dan berganti nama menjadi Pasar
Songgolangit. Nama Songgolangit sendiri diambil dari nama Dewi Songgolangit
yang merupakan putri mahkota dari Kerajaan Kediri dalam salah satu versi cerita
asal-usul Reyog Ponorogo. Mempunyai paras wajah yang cantik dan berbudi pekerti
luhur menjadi daya tarik bagi raja-raja dan putra mahkota di wilayah Pulau
Jawa. Sifat luhur tersebut ditunjukkan ketika hendak memilih pasangan hidup.
Sang Dewi memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi dengan bersemedi. Dan hanya
ada satu pemenang yang berhasil mendapatkan hati Sang Dewi dengan mempertontonkan
kesenian baru dan hewan berkepala dua sesuai syarat yang telah diucapkannya.
Dialah Sang Prabu Kelana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin yang berkuasa di
Wengker, Ponorogo. Cerita tersebut menjadi cerita resmi dan abadi dalam setiap
pertunjukan Tari Reyog.
Karena
cerita yang populer tersebut, nama Dewi Songgolangit sangat terkenal di kota
Ponorogo dan sekitarnya. Sebagai bentuk penghargaan terhadap kebudayaan yang
mengharumkan kota Ponorogo, nama "Pasar Legi" yang telah terbakar
hebat beberapa tahun lahu, kini telah berdiri bangunan pasar baru dan diberi
nama "Pasar Songgolangit". Pasar tersebut menjadi salah satu pusat
perdagangan tradisional dan moderen yang menjadi kebanggaan masyarakat
Ponorogo.
Pasar
Legi yang dulu menggunakan sistem pancawarna, setelah mengalami kebakaran dan
berganti nama menjadi Pasar Songgolangit, pasar ini sudah tidak menggunakan
sistem pancawarna lagi dan kegiatan ekonomi dilakukan setiap hari. Mengingat
Pasar Songgolangit terletak dekat dengan wilayah perkotaan. Pasar yang terdapat
dikota biasanya terselenggara setiap hari sehingga kegiatan perekonomiannya
terjadi secara rutin dan menetap sering disebut pasar harian.
DAFTAR
RUJUKAN
AR, M.B Rahimsyah. 1990. Asal-usul
Reog Ponorogo. ----------: Karya Anda, Angota IKAPI.
Boediono. 2010. Ekonomi
mikro. BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta.
Case Karl E & Fair Ray C. 2007. Prinsip-prinsip Ekonomi Jilid 1.
Erlangga: Jakarta.
Chourmain, Imam dan Prihatin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta :
Depdikbud.
Majid, M. Dien. 1988. Pasar Angkup (Studi Kasus Perilaku Pasar) Dalam Perdagangan, Pengusaha
Cina, Perilaku Pasar. Jakarta : PT. Pustaka Grafika Kita.
Marwati, Djoened Poesponegoro. 1993. Volume 3 dari Sejarah nasional Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-IX Masehi. Jakarta : PT.
Dunia Pustaka Jaya.
Sinaga, Josua Moreno. 1976. Laporan Survey Pasar DKI Jakarta. Jakarta: LPEM – FEUI.
Tim Penulisan dan Penelitian Sejarah Muhammadiyah
Ponorogo. 1991. Selintas Perkembangan
Muhammadiyah Ponorogo. Jakarta: Pimpinan Daerah Muhammadiyah Majlis Pustaka
Ponorogo.
-------------. 1990. Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan
Sumatera Barat. Jakarta: Depdikbud.
Bapak
Supriyanto sebagai informan
x