Sabtu, 29 Desember 2012

pasar songgolangit



Abstrak: Artikel ini mencoba untuk menjelaskan tentang sejarah Pasar Songgolangit yang berada di Kabupaten Ponorogo.Yang akan dijelaskan telebih dahulu mengenai letak geografis Kabupaten Ponorogo dan keadaan sosial ekonomi masyarakat Ponorogo. Disini juga akan dijelaskan pengertian umum pasar, sejarah pasar dan jenis-jenis pasar. Pasar Songgolangit  merupakan pasar terbesar yang dimiliki oleh Kabupaten Ponorogo. Songgolangit sendiri juga diambil dari nama seorang putri yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Ponorogo.

Kata Kunci: Pasar, Kabupaten Ponorogo, Pasar Songgolangit


PENDAHULUAN
Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya sudah berlangsung sejak manusia itu ada. Salah satu kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut adalah memerlukan adanya pasar sebagai sarana pendukungnya. Pasar merupakan kegiatan ekonomi yang termasuk salah satu perwujudan adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Hal ini didasari atau didorong oleh faktor perkembangan ekonomi yang pada awalnya hanya bersumber pada problem untuk memenuhi kebutuhan hidup (kebutuhan pokok).
Pengertian pasar atau definisi pasar adalah tempat bertemunya calon penjual dan calon pembeli barang dan jasa. Di pasar antara penjual dan pembeli akan melakukan transaksi. Dalam arti sempit, pasar adalah tempat dilakukannya kegiatan jual beli berbagai macam barang dan jasa untuk keperluan hidup sehari-hari. Dalam pengertian yang lebih luas, pasar adalah proses berlangsungnya transaksi permintaan dan penawaran atas barang dan jasa.
Dalam ilmu ekonomi, pengertian pasar tidak harus dikaitkan dengan suatu tempat yang dinamakan pasar dalam pengertian sehari-hari. Suatu pasar dalam ilmu ekonomi adalah dimana saja terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Barang yang ditransaksikan bisa barang apapun, mulai dari beras dan sayur mayur, sampai ke jasa angkutan, uang, dan tenaga kerja. Setiap barang ekonomi mempunyai pasarnya sendiri-sendiri. Pasar beras, pasar sayur, pasar sepatu, pasar jasa angkutan termasuk kategori pasar output. Sedangkan pasar modal, pasar tenaga kerja, pasar tanah termasuk pasar input.
Di masing-masing pasar terjadi transaksi pasar untuk barang yang bersangkutan. Dan apabila terjadi suatu transaksi, maka ini berarti telah terjadi suatu persetujuan (antara pembeli dan penjual) mengenai harga transaksi dan volume transaksi bagi barang tersebut. Dua aspek transaksi inilah (yaitu harga dan volume) yang menjadi pusat perhatian ahli ekonomi apabila ia menganalisa suatu pasar.
Pokok penulisan artikel adalah Sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo. Pada artikel ini, penulis menganalisis terbentuknya  Pasar Songgolangit Ponorogo yang dulunya bernama Pasar Legi, penulis juga memaparkan bagaimana keadaan Kota Ponorogo dengan menggunakan sumber Buku Selintas Perkembangan Muhammadiyah Ponorogo. Lalu juga menyertakan gambar-gambar yang relevan sesuai dengan apa yang dibahas.
Berkaitan dengan paparan diatas maka rumusan masalah dalam artikel ini antara lain: (1.) bagaimana asal mula terbentuknya pasar?, (2.) Apa saja jenis-jenis pasar?, (3.) bagaimana keadaan sosial-ekonomi masyarakat Ponorogo?, (4.) Bagaimana sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo?. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah: (1.) menjelaskan asal mula terbentuknya pasar, (2.) menjelaskan jenis-jenis pasar, (3.) memaparkan keadaan sosial-ekonomi masyarakat Ponorogo, (4.) mendeskripsikan sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo.


METODE PENELITIAN
Penulisan artikel ini menggunakan studi kesejarahan dan wawancara untuk memperoleh pengetahun khusus tentang pola dan struktur perekonomian di Kabupaten Ponorogo dan sejarah Pasar Songgolangit dengan cara analisis terhadap sumber-sumber yang diperoleh.
Langkah yang ditempuh penulis dalam menyusun artikel ini antara lain:
1.      Pemilihan Topik
Pemilihan topik Sejarah Pasar Songgolangit Ponorogo diambil oleh penulis karena pasar ini merupakan pasar tradisional terbesar di Ponorogo dan menjadi pasar kebanggaan masyarakat Ponorogo.
2.      Pengumpulan Data
Terkait dengan hal ini, penulis melakukan beberapa cara seperti: mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan topik pembahasan, wawancara dengan salah sorang pegawai Pasar Songgolangit, serta mencari data dari internet.
3.      Kritik Sumber
Penulis menghubungkan informasi yang diperoleh dari sumber yang di dapat dari hasil wawancara serta sumber lainnya. Kritik dilakukan dalam mengolah sumber yang berbentuk artikel dari internet.

HASIL
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Masyarakat Ponorogo sejak tahun 1920-an sudah memiliki berbagai lapangan kerja. Ketrampilan ini diperoleh secara turun temurun. Ada yang bertani ladang, ada pula yang mengolah sawah. Perikanan dan peternakan pun sudah dilakukan oleh masyarakat ponorogo walaupun sekedar hobi. Adapun masyarakat perkotaan, lapangan pekerjaan lebih mengarah ke pedagang, pengusaha batik, dan penjual candu,


PEMBAHASAN

SEJARAH PASAR SONGGOLANGIT PONOROGO
Sudah sejak zaman dahulu kota tidak akan pernah terlepas dari pusat kegiatan komersil yang disebut dengan pasar. Sejarah pasar di awali pada zaman pra sejarah, dimana didalam memenuhi kebutuhan manusia melakukan sistem barter, yaitu suatu sistem yang diterapkan antara dua individu dengan cara menukar barang yang satu dengan barang yang lainnya dan akhirnya sistem barter ini berkembang secara luas.
Dalam terminologi ilmu ekonomi, sebenarnya tidak terdapat istilah pasar tradisional. Istilah tersebut muncul ketika terdapat fenomena di berbagai negara (terutama di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia), dimana adanya dua tipe pasar yang secara operasional berbeda tetapi berjalan secara bersamaan, yang kemudian diistilahkan dengan pasar tradisional dan pasar modern.
Sedangkan sejarah terbentuknya pasar itu sendiri berawal dari kebiasan masyarakat jaman dahulu yang menggunakan sistem barter atas barang yang dibutuhkannya namun tidak diproduksi sendiri. Untuk melakukan barter, dipilih sebuah tempat yang disepakati bersama. Lama-kelamaan tempat tersebut berubah menjadi pasar. Kegiatan yang dilakukan disana pun tidak hanya sekedar barter namun sudah berupa kegiatan jual beli dengan menggunakan alat pembayaran berupa uang.
Timbulnya pasar tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat pengaliran untuk dijual. Selain itu pemenuhan kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkan barang-barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat berdagang yang disebut pasar.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Pasar modern dari sisi barang yang diperdagangkan, tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun dalam pasar modern penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan, hypermarket, supermarket, dan minimarket.
Pasar tradisional dalam awal-awal keberadaannya memiliki peranan yang penting dalam perkembangan wilayah dan terbentuknya kota. Sebagai pusat aktivitas ekonomi masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya pemukiman-pemukiman dan aktivitas sosial-ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, dan pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan. Jasa besar pasar tradisional (tentunya dengan pelaku-pelaku di dalam pasar tersebut), hampir tidak terbantahkan terutama jika kita lihat sejarah berdirinya hampir seluruh kota di Indonesia.
Pada umumnya pasar tradisional merupakan tempat penjualan bahan – bahan kebutuhan pokok (sembako). Biasanya pasar tradisional beraktifitas dalam batas – batas waktu tertentu, seperti pasar pagi, pasar sore, pasar pekan dan lain sebagainya. Pasar tradisional biasanya dikelola oleh pemerintah maupun swasta, fasilitas yang tersedia biasanya merupakan bangsal –  bangsal, loods – loods, gudang, toko – toko, stand – stand/kios – kios, toilet umum pada sekitar pasar tradisional. Pada pasar tradisional proses jual beli terjadi secara manusiawi dan komunikasi dengan nilai – nilai kekeluargaan yang tinggi.
Pasar pada prinsipnya adalah tempat dimana para penjual dan pembeli bertemu. Tetapi apabila pasar telah terselenggara dalam arti para pembeli dan penjual sudah bertemu serta barang-barang kebutuhan sudah disebarluaskan, maka pasar memperlihatkan peranannya bukan hanya sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi juga sebagai pusat kebudayaan.
Adapun komponen-komponen pasar antara lain adalah lokasi, bentuk fisik, komoditi, produksi, distribusi, transportasi, transaksi serta rotasi. Komponen-komponen pasar tersebut mempunyai keterkaitan fungsi masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, umpamanya faktor produksi sangat tergantung pada faktor distribusi dan untuk lancarnya suatu distribusi sangat diperlukan sarana transportasi yang baik, sehingga hasil produksi dapat mencapai pasar. Jalur transportasi tidak dapat dilepaskan dari lokasi pasar karena suatu pasar dianggap baik jika lokasinya mudah dicapai. Lokasi yang mudah dijangkau sangat mempengaruhi banyaknya orang yang datang kepasar yang dapat mengakibatkan naiknya jumlah transaksi. Meningkatnya transaksi dapat menyebabkan jumlah produksi naik. Satu hal yang penting kaitannya dengan sistem pasar ialah rotasi pasar yang merupakan kerjasama antar beberapa desa yang tentunya melibatkan warga masyarakat dari desa-desa bersangkutan.
Fungsi pasar sebagai pusat perekonomian kota sangat penting, karena kota merupakan tempat himpunan masyarakat dari berbagai tempat yang kehidupannya lebih dititik beratkan pada perdagangan. Di dalam kota, ada lebih dari satu pasar dan letaknya tidak selalu dekat dengan alun-alun tetapi ada juga yang dibuat dekat perkampungan para pedagang. Di dalam kota-kota, selain terdapat tempat peribadatan, pasar dan bangunan untuk penguasa yaitu keraton, terdapat pula perkampunga-perkampungan. Perkampungan itu ada yang didasarkan kepada status social-ekonomi, status keagamaan, dan status kekuasaan dalam pemerintah.
Kabupaten Ponorogo, merupakan salah satu kabupaten yang berada di sisi tenggara Jawa Timur. Luas daerah Ponorogo mencapai 137 115 Ha. Batas-batas wilayah Kabupaten Ponorogo di sebelah utara yakni Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan, di sebelah timur yakni Kabupaten Trenggalek, di sebelah selatan yakni Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Pacitan, dan di sebelah barat yakni Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Wonogiri.
Sesuai letak geografinya, masyarakat Ponorogo sejak tahun 1920-an sudah memiliki berbagai lapangan kerja. Ketrampilan ini diperoleh secara turun temurun. Ada yang bertani ladang, ada pula yang mengolah sawah dengan sistem penggarapan yang masih sangat sederhana. Hasil yang diperoleh belum mencukupi kebutuhan, dikarenakan perkebunan digarap dalam jumlah dan jenis yang terbatas yang hanya untuk memenuhi kebutuhan Belanda, misalnya kapas dan tebu. Peternakan pun sudah dilaksanakan, namun dalam bentuk yang sederhana pula. Perikanan sudah dilakukan pula, walaupun hanya didukung oleh hobi. Begitu juga tentang kerajinan, para pengrajin mampu memenuhi kebutuhan pribadi, masyarakat,dan pemerintah. Penggalian batu kali, pasir, dan gamping juga jenis mata pencaharian yang telah lama diusahakan masyarakat Ponorogo untuk menopang ekonomi keluarga. Tukang delman dan pedati bagi masyarakat Ponorogo menduduki nilai ekonomi tersendiri sebagai penjual jasa di bidang transportasi. Masyarakat perkotaan waktu itu memiliki kegiatan ekonomi yang lebih maju, misalnya pedagang, pengusaha batik, penjual candu, dan sebagainya.
Kabupaten Ponorogo memiliki fasilitas perdagangan yang cukup lengkap, fasilitas tersebut berupa pasar dan pertokoan yang tersebar di seluruh wilayah. Pasar-pasar besar Kabupaten Ponorogo antara lain Pasar Legi atau yang sekarang disebut Pasar Songgolangit di Kecamatan Ponorogo, Pasar Wage di Kecamatan Jetis, Pasar Pon di Kecamatan Jenangan dan pasar-pasar lain yang umumnya buka menurut hari dalam penanggalan Jawa. Di kabupaten ini juga terdapat pasar hewan terbesar di Karesidenan Madiun, yaitu Pasar Hewan Jetis yang buka setiap hari Pahing.
Selain menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari, keberadaan pasar tersebut juga penting dalam rangka menunjang kegiatan sistem koleksi–distribusi terhadap barang-barang kebutuhan penduduk dan beberapa komoditi pertanian yang dihasilkan oleh Kabupaten Ponorogo. Sedangkan fasilitas perdagangan yang berupa pertokoan banyak berkembang di kabupaten ini terutama toko-toko swalayan.
Dalam hal ini, salah satu pasar tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo yakni Pasar Songgolangit. Terletak di Jalan Soekarno-Hatta Ponorogo. Di sebelah timur pasar, tepatnya di Jalan Hayam Wuruk terdapat sebuah mushola yang bernama Mushola Nyai Ahmad Dahlan yang menjadi cikal bakal lahirnya Muhammadiyah di Kabupaten Ponorogo.
Pasar (tradisional) yang selama ini sudah menyatu dan memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat, pasar bukan hanya sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, tetapi juga sebagai wadah interaksi sosial dan representasi nilai-nilai tradisional yang ditunjukan oleh perilaku para aktor-aktor di dalamnya. Para pelaku pasar tradisional umumnya mengabaikan notion waktu adalah uang. Para penjual dalam menawarkan dagangannya lebih mendahulukan pendekatan personal dan memperlihatkan ketidaktergesaan. Fenomena ini membalikan salah satu ciri ekonomi neoliberaldi mana kecepatan dan percepatan merupakan syarat utama untuk memenangi apapun.
Suasana pasar terjalin bukan sekedar hubungan formal jual beli antara penjual dan pembelisaja, namun lebih dari itu, yakni mereka saling bertegur sapa dan bercengkrama dengan bahasamereka yakni bahasa daerah. Mereka merasa terlepas dari ketegangan dan himpitan bebanhidup yang semakin berat. Sehingga bagi masyarakat berbelanja ke pasar yang ramai dan tidakterlalu bersih itu menjadi seperti kebutuhan hidup.Malah tidak sedikit di pasar tradisional itu pedagang yang biasa jualannya dengan caradiutangkan. Atau penjualnya terjerat utang oleh rentenir yang berkeliaran mencari mangsa dipasar itu. Mereka selalu dan sangat tergantung dalam hal penyediaan modal kepada “bankkeliling”, yang konon bunga banknya lebih dari 20%. Cara berdagang seperti itu menjadi absurddalam sistem ekonomi modern. Tetapi bagi sebagian orang berjualan seperti itu di pasar bukansemata-mata mencari keuntungan. Meskipun sektor kerja mereka berada di wilayah ekonomi subsisten. Mereka lebih mengangkat kekerabatan dan kebersamaan sebagai hal yang utama. Di pasar,mereka merasa senang karena bisa bertemu dan berkomunikasi dengan langganan dan teman-temannya.Bahkan tidak sedikit di antara sesama pedagang saling berutang dan salingmencukupi kebutuhan.Itulah kegiatan pasar tradisional yang memperlihatkan kebertautan antara kebudayaan danekonomi. Pasar itu bukan tempat suci, tetapi solidaritas dan kepercayaan terbangun di sini.
Awalnya, Pasar Songgolangit bernama Pasar Legi. Pasar Legi berdiri sekitar tahun 1827, hampir bersamaan dengan berdirinya Pasar Pon, Pasar Alon-alon, dan Pasar Gampingan. Letak Pasar Legi dipisahkan oleh Jalan Urip Sumoharjo, sehingga juga terdapat pemisahan jenis barang dagangan. Pasar bagian utara jenis barang dagangan berupa sembako dan kebutuhan sehari-hari, pada bagian selatan jenis dagangan berupa kain-kain.
Biasanya pasar menggunakan penerapan konsep pancawara terhadap sistem pemukiman. Pancawarna  mengatur rotasi hari-hari pasar pada wilayah-wilayah tertentu. Pancawarna adalah nama dari sebuah pekan atau minggu yang terdiri dari lima hari, dalam budaya Jawa dan Bali. Pancawarna juga disebut sebagai hari pasaran dalam bahasa Jawa. dalam sistem penanggalan Jawa dan Bali terdapat 2 macam siklus waktu yaitu mingguan dan pasaran. Masing-masing hari-hari pasar itu mempunyai watak yang berbeda. Watak hari-hari pasar ini dapat dihitung menggunakan Kalender Jawa (Petungan Jawi), yaitu perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan dan tahun. Petungan Jawi dengan kelengkapannya itu dapat dipercaya sebagai pelukisan watak bawaan atau pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dan kesesuaiannya dengan alam. Adapun watak atau karakter dari masing-masing hari-hari pasar adalah sebagai berikut: (1) Pahing, wataknya melikan artinya suka pada barang yang kelihatan, mempunyai rupa merah dan bertempat di sebelah selatan; (2) Pon, wataknya pamer artinya suka memamerkan harta miliknya, mempunyai rupa kuning dan bertempat di sebelah barat; (3) Wage, wataknya kedher artinya kaku hati/ teguh bicara, mempunyai rupa hitam dan bertempat di sebelah utara; (4) Kliwon, wataknya micara artinya dapat mengubah bahasa, bertempat di tengah-tengah/induk dan mempunyai rupa manca warna; (5) Manis/Legi, wataknya komat artinya sanggup menerima segala macam keadaan, mempunyai rupa putih dan bertempat disebelah timur.
Jadi, menurut watak atau karakter dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pasar Legi mempunyai watak yang komat yang artinya sanggup menerima segala macam keadaan, mempunyai rupa putih dan bertempat disebelah timur. Letak Pasar Legi sendiri juga sesuai dengan watak, karena Pasar Legi terletak di sebelah timur alon-alon Ponorogo.
Pada tahun 1995, Pasar Legi mengalami kebakaran hebat yang mengalami kerugian miliaran rupiah. Hal ini dirasakan oleh masyarakat sekitar pasar yang berlokasi strategis, "terbakar" atauada indikasi sengaja dibakar. Hal ini tentu saja dengan melihat kenyataan bahwa tidak lamasetelah dibakar, di tempat tersebut biasanya berdiri pusat perbelanjaan megah. Renovasi selamaini dengan mengatasnamakan kepentingan pedagang, tak jarang melalui penunjukanpengembang tanpa tender. Namun kenyataannya sering kali "menghianati" pedagang lama yangsebelumnya ada. Malah belakangan ini muncul modus-modus baru menggusur pasar tradisionalmelalui kekerasan dengan mengerahkan aparat.
Pada tahun 1997, Pasar Legi kembali berdiri dan berganti nama menjadi Pasar Songgolangit. Nama Songgolangit sendiri diambil dari nama Dewi Songgolangit yang merupakan putri mahkota dari Kerajaan Kediri dalam salah satu versi cerita asal-usul Reyog Ponorogo. Mempunyai paras wajah yang cantik dan berbudi pekerti luhur menjadi daya tarik bagi raja-raja dan putra mahkota di wilayah Pulau Jawa. Sifat luhur tersebut ditunjukkan ketika hendak memilih pasangan hidup. Sang Dewi memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi dengan bersemedi. Dan hanya ada satu pemenang yang berhasil mendapatkan hati Sang Dewi dengan mempertontonkan kesenian baru dan hewan berkepala dua sesuai syarat yang telah diucapkannya. Dialah Sang Prabu Kelana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin yang berkuasa di Wengker, Ponorogo. Cerita tersebut menjadi cerita resmi dan abadi dalam setiap pertunjukan Tari Reyog.
Karena cerita yang populer tersebut, nama Dewi Songgolangit sangat terkenal di kota Ponorogo dan sekitarnya. Sebagai bentuk penghargaan terhadap kebudayaan yang mengharumkan kota Ponorogo, nama "Pasar Legi" yang telah terbakar hebat beberapa tahun lahu, kini telah berdiri bangunan pasar baru dan diberi nama "Pasar Songgolangit". Pasar tersebut menjadi salah satu pusat perdagangan tradisional dan moderen yang menjadi kebanggaan masyarakat Ponorogo.
Pasar Legi yang dulu menggunakan sistem pancawarna, setelah mengalami kebakaran dan berganti nama menjadi Pasar Songgolangit, pasar ini sudah tidak menggunakan sistem pancawarna lagi dan kegiatan ekonomi dilakukan setiap hari. Mengingat Pasar Songgolangit terletak dekat dengan wilayah perkotaan. Pasar yang terdapat dikota biasanya terselenggara setiap hari sehingga kegiatan perekonomiannya terjadi secara rutin dan menetap sering disebut pasar harian.


DAFTAR RUJUKAN
AR, M.B Rahimsyah. 1990. Asal-usul Reog Ponorogo. ----------: Karya Anda, Angota IKAPI.
Boediono. 2010. Ekonomi mikro. BPFE-Yogyakarta: Yogyakarta.
Case Karl E & Fair Ray C. 2007. Prinsip-prinsip Ekonomi Jilid 1. Erlangga: Jakarta.
Chourmain, Imam dan Prihatin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta : Depdikbud.
Majid, M. Dien. 1988. Pasar Angkup (Studi Kasus Perilaku Pasar) Dalam Perdagangan, Pengusaha Cina, Perilaku Pasar. Jakarta : PT. Pustaka Grafika Kita.
Marwati, Djoened Poesponegoro. 1993. Volume 3 dari Sejarah nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-IX Masehi. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.
Sinaga, Josua Moreno. 1976. Laporan Survey Pasar DKI Jakarta. Jakarta: LPEM – FEUI.
Tim Penulisan dan Penelitian Sejarah Muhammadiyah Ponorogo. 1991. Selintas Perkembangan Muhammadiyah Ponorogo. Jakarta: Pimpinan Daerah Muhammadiyah Majlis Pustaka Ponorogo.
-------------. 1990. Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Sumatera Barat. Jakarta: Depdikbud.
Bapak Supriyanto sebagai informan



x


Jumat, 20 April 2012

hujanku

hujan datang
terbesit keinginan
aku ingin seperti hujan
mereka runtuh tak pernah sendiri
mereka selalu bersama
alunan indah, menyerbu gemerisik

aku tak ingin hujan menyentuhku..
meskipun hanya menyentuh
yang kucari naungan
bukan basah merajam




aku suka suasana hujan
saat hujan aku bernyanyi
saat hujan aku merindu
saat hujan aku jatuh cinta

sejuk suasananya memanjakan angan
hujan telah menemaniku
menemani bercerita
menemani rinduku
aku terlalu  rindu..
Dan semakin rindu
Hingga sang langit pun bernyanyi untuk dia yang ku rindu

Senin, 16 April 2012

SEJARAH KABUPATEN SOMOROTO YANG BERADA DI WILAYAH PONOROGO



Niken Pranandari[1]

Abstrak: Artikel ini mencoba untuk menjelaskan tentang sejarah Kabupaten Somoroto. Disini juga akan dijelaskan mengenai letak geografis Kabupaten Somoroto, korelasi Kabupaten Somoroto dengan Kabupaten Ponorogo, tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Bupati Somoroto, dan juga Pasarean Srandil yang merupakan makam peninggalan keturunan Bupati-bupati Somoroto. Kabupaten Somoroto dulunya disebut dengan Kabupaten Kutho Kilen. Kabupatennya pun terletak di Dusun Carat yang berada di utara jalan besar Ponorogo-Badegan. Alon-alon Kabupaten Somoroto dulu terletak di bangunan gedung Puskesmas dan Kantor Kecamatan Kauman. Kabupaten Somoroto berdiri antara tahun 1780-1887.
Kata Kunci: Letak geografis, Korelasi, Tokoh-tokoh, Pasarean Srandil

Kabupaten Somoroto didirikan oleh Raden Mas Tumenggung Prawiradirja pada tahun 1805, beliau adalah keturunan ke-13 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raden Tumenggung Prawiradirja adalah putra dari Raden Tumenggung Wirareja, putra dari Kyai Sutowijoyo, putra dari Kyai Sutojoyo, putra dari Kyai Ageng Cucuk Singowongso, putra dari Kyai Ageng Cucuk Dhepok, putra dari Kyai Ageng Cucuk Telon, putra dari Kyai Ageng Karangelo, putra dari Kyai Ageng Ampunan, putra dari Panembahan Jogorogo, putra dari Raden Alit, putra dari Raden Patah, putra dari Raden Patah, putra dari Brawijaya V raja Majapahit[2].
Wirareja adalah seorang pedagang arang yang tinggal di kampung Coyudan Solo. Kemudian atas perantaraan temannya, Wirareja diangkat sebagai pegawai Istana Surakarta yang bekerja sebagai pembaca tembang istana. Wirareja memiliki seorang puteri yang cantik yang bernama Roro Handawiyah (Roro Berook) “si Penari Bedaya Istana”. Yang kemudian pada tahun 1762 dinikahi oleh Sunan Pakubuwono III dan sekaligus diangkat sebagai istri permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan tersebut mengakibatkan status sosial Wirareja menjadi terangkat. Wirareja nantinya diangkat sebagai Bupati Nayaka di Keraton Surakarta dengan gelar Raden Tumenggung Wirareja dan istrinya mendapat gelar Bendara Raden Ayu Ibu.

Bupati Somoroto 1
Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja yang laki-laki (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru.  Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata)[3].
 Secara de facto Kabupaten Somoroto mulai berdiri pada tahun 1780, tetapi secara de jure baru berdiri tahun 1805, yaitu saat Sunan Pakubuwono IV (putra dari Sunan Pakubuwono III) secara resmi mengangkat Prawiradirja sebagai bupati di derah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Wilayahnya mengambil sebagian dari wilayah Kabupaten Ponorogo warisan Bathara Katong dengan batas Sungai Sekayu ke barat terus ke selatan sampai ke Selahung. Pusat pemerintahannya (pendopo kabupaten) terletak di tapal batas Desa Carat dengan Desa Kauman yang sekarang ditempati SMAN 1 Kauman. Sedangkan alun-alunnya sekarang menjadi Puskesmas dan Kantor Kecamatan Kauman, dan masjidnya menjadi Masjid Jami’ Kauman sekarang. Berdirinya kabupaten baru tersebut juga direstui oleh Bupati Ponorogo Raden Tumenggung Surodiningrat I, pamannya sendiri karena istri dari sang bupati adalah adik dari ayahanda Raden Tumenggung Wirareja.
Berdirinya Kabupaten Somoroto sangat penting untuk mengamankan daerah Ponorogo, terutama bagian barat. Hal ini dikarenakan situasi Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan dalam keadaan kacau. Kekacauan ini dipicu oleh ulah bupatinya sendiri yang hanya mengutamakan kesenangan dirinya sendiri daripada memperhatikan kehidupan rakyatnya. Sang bupati, Raden Tumenggung Surodiningrat I memiliki 23 istri dan selir dengan memiliki anak sebanyak 135 orang. Akibatnya anak-anak beliau saling berebut kekuasaan sehingga suasana pemerintahan di Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan sangat kacau. Berdirinya Kabupaten Somoroto tentunya mendapat dukungan masyarakat banyak terutama masyarakat yang tinggal di sebelah barat Sungai Sekayu yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan.
Bupati Somoroto II
Setelah Raden Mas Tumenggung Prawiradirja meninggal dunia, Kabupaten Somoroto kemudian diperintah oleh putranya yang bernama Raden Mas Tumenggung Sumonagoro (Bupati Somoroto II). Masa pemerintahan beliau bersamaan dengan Perang Diponegoro (1825-1830) dan pelaksanaa Tanam Paksa (1830-1870). Pada masa Tanam Paksa, Bangsa Indonesia dipaksa oleh Pemerintah  Belanda untuk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa, khusus untuk daerah Ponorogo diwajibkan untuk menanam kopi dan tom (bahan untuk membuat batik atau tekstil)[4].
Pelaksanaan Taman Paksa ini diserahkan sepenuhnya kepada bupati masing-masing. Selain itu untuk mensukseskan pelaksanaan Tanam Paksa, Pemerintah Belanda memberi iming-iming hadiah atau persen kepada para bupati yang bisa mengumpulkan hasil pertanian melebihi ketentuan ynag ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Akibatnya banyak bupati yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah dengan cara memaksa rakyatnya untuk bekerja melebihi kemampuannya.
Berbeda dengan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, beliau adalah seorang bupati yang berwawasan ke depan, beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau sadar jika rakyat Somoroto dipaksa untuk menanam kopi dan tom, yang akan terjadi adalah bencana kelaparan.Sebab kopi dan tom bukan makanan pokok yang dapat memenuhi kehidupan rakyat Somoroto, tetapi semata-mata untuk memenuhi kepentingan penjajah yang serakah sehingga rakyat Somoroto tidak diperintah untuk menanam kopi dan tom, tetapi rakyatnya diperintah untuk tetap menanam padi.
Peristiwa tersebut diketahui oleh pihak Belanda, yang membuat Raden Mas Tumenggung Sumonagoro dipanggil ke Surabaya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Meskipun beliau sudah mengemukakan alasan yang sangat rasional tentang penolakan penanaman kopi dan tom, namun pihak Belanda tetap tidak mempedulikan, bahkan beliau dijatuhi hukuman yaitu dibuang ke Sulawesi. Sebelum beliau dibuang ke Sulawesi, beliau jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, kemudian jenazahnya dimakamkan di Ampel Surabaya. Sepeninggal Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, pemerintahan di Somoroto dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Mas Brotodirjo.
Bupati Somoroto III
Pada masa pemerintahan Raden Mas Brotodirjo (Bupati Somoroto III), tepatnya pada tahun 1837 atas campur tangan pemerintah Belanda dengan alasan untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah Ponorogo dan sekitarnya, Pemerintah Belanda berkeinginan untuk menggabungkan empat kabupaten yang ada di Ponorogo menjadi satu. Tetapi keinginan Belanda tersebut ditentang oleh bupati Somoroto Raden Mas Brotodirjo ”jika Kabupaten Somoroto dihapus dan digabung menjadi satu kabupaten dengan ketiga kabupaten lainnya, kami tidak bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan dimana-mana”.
Ancaman Bupati Somoroto tersebut bukan hanya omong kosong. Pemerintah Belanda yang ada di Ponorogo dan Madiun menyadari kalau situasinya belum kondusif. Secara nasional, pemerintah Belanda baru saja memadamkan Perlawanan Pangeran Diponegoro, dan pada masa itu pula pemerintah Belanda masih berusaha memadamkan Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Sedangkan di daerah Ponorogo, pemerintah Belanda baru saja memadamkan perlawanan Tumenggung Polorejo. Situasi yang kurang kondusif itu mengakibatkan pemerintah Belanda mengabulkan  permintaan Bupati Somoroto untuk tetap berdiri sendiri lepas dari Kabupaten Ponorogo Kota Tengah. Sehingga pada tahun 1837 di Ponorogo hanya terdapat dua kabupaten, yang pertama yaitu Kabupaten Ponorogo Kota Tengah yang merupakan gabungan dari Kabupaten Ponorogo Kutho Wetan, Kabupaten Pedanten dan Kabupaten Polorejo, dan yang kedua yaitu Kabupaten Somoroto itu sendiri yang biasa disebut Kutho Kilen.
Pada tahun 1855 Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia dalam usia 45 tahun yang jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil. Sedangkan pemerintahan di Somoroto dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Mas Brotodiningrat.
Bupati Somoroto IV
Secara geneologis, Raden Mas Brotodiningrat Bupati Somoroto IV ini masih ada keturunan darah raja-raja Madura, terutama dari pihak ibu, yaitu keturunan Sultan Bangkalan I. Sultan Bangkalan I memiliki anak yang bernama Raden Ayu Andajasmani yang menjadi permaisuri dari Sunan Pakubuwono IV raja Surakarta yang kemudian menurunkan Sunan Pakubuwono V. Sunan Pakubuwono V memiliki putra yang bernama Pangeran Sindusenan. Pangeran Sindusenan memiliki putri Raden Ayu yang kemudian menjadi istri dari Raden Mas Brotodirjo Bupati Somoroto III yang menurunkan Raden Mas Brotodiningrat.
Pada waktu ayahandanya Raden Mas Brotodirjo meninggal dunia pada tahun 1855, Raden Mas Brotodiningrat masih berumur 6 tahun. Oleh karena itu pemerintahan di Somoroto diwakilkan kepada patihnya, Raden Mas Sumoatmodjo (1855-1869). Baru pada tahun1869 beliau diangkat sebagai Bupati SomorotoIV sampai tahun 1877. Selama memerintah di Somoroto, tidak ada berita tentang pemerintahannya. Namun yang jelas sejak tahun 1877 Kabupaten Somoroto dihapus yang kemudian digabung dengan Kabupaten Ponorogo Kutho Tengah. Agar tidak terjadi gejolak, Raden Mas Brotodiningrat dialih tugaskan oleh pemerintah Belanda menjadi  Bupati Ngawi, dan beberapa tahun kemudian dipindah menjadi Bupati Madiun. Selama beliau memerintah di Madiun beliau sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Beliau berhasil menyelamatkan rakyatnya diambang kelaparan. Keberhasilan Bupati keturunan darah Madura tersebut dalam membela rakyatnya dari pihak Belanda mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama dari bupati-bupati yang ada di wilayah Karesidenan Madiun. Bahkan penguasa Kasunanan Surakarta Sunan Pakubuwono VII menganugerahi gelar “adipati” pada sang bupati, sehingga namanya menjadi Raden Mas Adipati Brotodiningrat. Beliau meninggal dunia pada 1927, jenazahnya dimakamkan di Pasarean Srandil.

Pasarean Srandil
Pasarean (Astana) Srandil terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto.
Ditinjau dari segi geografis, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang saling sambung menyambung yang semuanya berjumlah lima bukit. Jika diurutkan mulai dari barat ke timur, kelima bukit tersebut adalah Bukit Lemu, Bukit Bancak, Bukit Ngrayu, Bukit Srayu, dan Bukit Srandil. Sedangkan Pasarean Srandil terletak di Bukit Srayu yang artinya “Sugeng Rahayu” atau bukit pembawa keselamatan[5]. Tokohpertama yang dimakamkan dan yang menjadi cikal bakal berdirinya Pasarean Srandil adalah Raden Mertokusumo, yaitu patih dari Kabupaten Polorejo yang menjadi pendukung Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda.
Setelah Raden Tumenggung Brotonegoro Bupati Polorejo gugur dalam melawan penjajah Belanda, patihnya yang bernama Raden Dipotaruno berhasil meloloskan diri, kemudian beliau melarikan diri ke Desa Srandil dan bersembunyi di Goa Batu yang ada di bukit Ngrayu. Setelah situasinya aman, beliau memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan diperkirakan sejak saat itu beliau berganti nama menjadi Raden Mertokusumo dalam usaha menghindari usaha pengejaran prajurit Belanda. Oleh karena itu masyarakat Srandil lebih mengenal nama Raden Mertokusumo daripada Raden Dipotaruno sampai sekarang. Di Desa Srandil, Raden Mertokusumo menjadi sesepuh dan panutan masyarakat Srandil bersama Kyai Mohibat, putra Kyai Kasan Yahya dari Tegalsari, yakni tokoh pertama yang membuka (membabat) Desa Srandil. Kedua tokoh tersebut sangat dihormati oleh masyarakat Srandil sampai sekarang.
Sebelum Raden Mertokusumo meninggal dunia,beliau berpesan kepada masyarakat Srandil, bahwa jika beliau meninggal dunia, jenazahnya supaya dimakamkan di Bukit Srayu yang artinya Sugeng Rahayu atau bukit pembawa keselamatan. Karena atas pertolongan Allah, di Bukit Srayu itulah beliau berhasil menyelamatkan diri dari kejaran prajurit Belanda.
Pada waktu Kabupaten Somoroto diperintah oleh Raden Mas Tumenggung Sumonagoro (Bupati Somoroto II) sekitar tahun 1830-an, beliau mengajukan permohonan kepada Raja Surakarta Sunan Pakubuwono IV agar Desa Srandil yang luasnya 70 hektar dijadikan sebagai daerah perdikan (bebas pajak) untuk menjaga dan memelihara Pasarean Srandil dan sekaligus akan dijadikan sebagai pemakaman para keturunan bupati Somoroto. Dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Sunan Pakubuwono IV. Kemungkinan pembuatan pagar keliling yang berukuran 24m x 24m pada Pasarean Srandil yang tetap kokoh sampai sekarang sudah dimulai pada masa pemerintahan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1931 sesuai petunjuk papan nama yang terdapat pada Pasarean Srandil.
Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa).
Ditinjau dari segi tata letak makam, Pasarean Srandil terletak di areal perbukitan yang menganut pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman. Halaman pertama berada di luar gedung, sedangkan pelataran kedua dan ketiga berada di dalam gedung. Pola pembagian pelataran menjadi tiga halaman tersebut merupakan budaya asli bangsa Indonesia, yakni menyerupai punden berundak-undak, yaitu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang berbentuk piramida berteras, dimana bagian belakang lebih tinggi dari bagian depan.
Biasanya pada halaman belakang (halaman ketiga) terdapat makam yang paling dikeramatkan. Terbukti selain terdapat makam Raden Mertokusumo sebagai cikal bakal Pasarean Srandil, juga terdapat dua makam bupati Somoroto, yakni makam Raden Mas Brotodirjo Bupati Somoroto III dan makam Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Somoroto IV.  Lain halnya dengan makam Raden Mas Tumenggung Prawiradirja Bupati Somoroto I, makamnya berada di Pasarean Setono Ponorogo, sedangkan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro Bupati Somoroto II makamnya berada di Ampelgading Surabaya.
Ditinjau dari segi arsitektur makam, adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong[6].

Penutup
Kabupaten Somoroto didirikan oleh Raden Mas Tumenggung Prawiradirja, beliau adalah keturunan ke-13 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raden Tumenggung Prawiradirja adalah putra dari Raden Tumenggung Wirareja. Wirareja adalah seorang pedagang arang yang tinggal di kampung Coyudan Solo. Wirareja mempunyai puteri yang bernama  Roro Handawiyah (Roro Berok). Yang kemudian pada tahun 1762 dinikahi oleh Sunan Pakubuwono III dan sekaligus diangkat sebagai istri permaisuri dengan gelar Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan tersebut mengakibatkan status sosial Wirareja menjadi terangkat. Akhirnya Wirareja diangkat sebagai Bupati Nayaka di Keraton Surakarta dengan gelar Raden Tumenggung Wirareja dan istrinya mendapat gelar Bendara Raden Ayu Ibu.
Pada tahun 1780, putra Raden Tumenggung Wirareja (adik dari Kanjeng Ratu Kencana) yang bernama Prawiradirja diperintahkan oleh Sunan Pakubuwono III untuk membuka (babat) daerah baru di sebelah barat Sungai Sekayu yang dikenal dengan Hutan Kasihan dan Hutan Sambirata untuk mendirikan kota baru.  Disitulah ditemukan tempat yang datar / papan kang waroto wangun mbatok mengkurep (tempat yang datar dan berbentuk tempurung yang tengkurup) yang begitu baik untuk didirikan sebuah kota, oleh karena itu kedua hutan tersebut nantinya diberi nama Somoroto (Samarata). Yang akhirnya Prawiradirja diangkat sebagai bupati di daerah tersebut (Somoroto) dengan gelar Raden Mas Tumenggung Prawiradirja. Selain Prawiradirja, bupati-bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Somoroto yaitu Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, Raden Mas Brotodirjo, dan Raden Mas Brotodiningrat.
Bupati-bupati Somoroto yang meninggal, selanjutnya dimakamkan di Pasarean (Astana) Srandil yang terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon atau 11 km ke arah barat Kota Ponorogo menuju Badegan. Pasarean Srandil merupakan kompleks atau himpunan kesatuan dari beberapa makam para keturunan Bupati Somoroto. Jika dibandingkan dengan makam-makam Islam yang ada di Nusantara, Pasarean Srandil termasuk pemakaman yang relatif muda usianya, yaitu dibangun pada abad ke-19. Namun ciri khas sebagai “makam Islam Nusantara” masih tetap melekat, seperti adanya pengaruh budaya asli bangsa Indonesia budaya Hindhu maupun budaya lokal (Jawa). adanya pengaruh budaya Hindu Budha Jawa masih tetap melekat. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kori agung yaitu gapura yang berpintu dan beratap sebagai pintu gerbang tempat keluar masuk makam dari halaman pertama menuju halaman kedua dan ketiga. Kori agung merupakan peninggalan budaya agama Hindu yang berfungsi sebagai pintu gerbang bangunan candi. Setelah Islam mulai berkembang, kori agung dijadikan sebagai pintu gerbang makam dan pintu gerbang masjid. Kori agung (gapura) pada Pasarean Srandil yang atapnya berbentuk “limasan” adalah bukti adanya pengaruh budaya lokal (Budaya Jawa), karena ”limasan” itu sendiri merupakan ciri khas bangunan rumah Jawa selain joglo dan serotong.


[1] Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, Angkatan 2010
[2] Nur Ali, S.Pd. dalam artikel “Kabupaten Somoroto”, Majalah Smanidha edisi IV
[3] Purwowijoyo dalam Babad Ponorogo Jilid III
[4] Nur Ali, S.Pd. dalam artikel “Kabupaten Somoroto” Majalah Smanidha Edisi IV
[5] Menurut Mbah Sirmadi, mantan juru kunci Pasarean Srandil
[6] Nur Ali, S.Pd. dalam artikel “Pasarean Srandil” Majalah Smanidha Edisi V